Rabu, 09 Juni 2010

SIFAT-SIFAT YANG HARUS DIMILIKI SEORANG DA’I

Menjadi seorang da’i atau penyampai kebenaran adalah kewajiban bagi manusia. Berdakwah Illallah, merupakan perkara agung dan memiliki derajat yang tinggi, sebab para da’i merupakan orang-orang yang menggantikan nabi dan rasul dalam menyampaikan ilmu secara benar, mengamalkannya, dan menda’wahkannya.
Maka, patutulah seorang da’i mengurusi kegiatan mulia ini dengan segenap kemampuan serta usaha yang profesional. Beberapa sifat yang harus dimiliki orang seoraang da’i adalah sebagai berikut.
a. Ikhlas
Seorang da’i dalam menjalankan da’wahnya tidak boleh bertujuan untuk mendapatkan pujian, harta, pangkat dan dunia. Seorang da’i harus menjadikan da’wah semata untuk mencari ridha Allah. Sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surah Yusuf.
Hal ini perlu diperhatikan dan harus dimulai dari perkara niat, sebagaimana hadist Rasulullah dari Umar bin Khattab,
"Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari)
Niat merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kadar amal seseorang dihadapan Allah, sebab niat seseorang akan mempengaruhi nilai amalannya. Sehingga jika ia meniatkan untuk suatu hal maka yang akan didapatinya hanyalah seperti hal itu.
b. Ilmu
Sejauh mana da’wah bisa dirasakan oleh seorang mad’u, tergantung pada ilmu yang dimiliki, cara penyampainya serta dalamnya ilmu yang dimilikinya.
Ilmu sangat penting
“Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin 'Ufair Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab dari Yunus dari Ibnu Syihab berkata, Humaid bin Abdurrahman berkata; aku mendengar Mu'awiyyah memberi khutbah untuk kami, dia berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah faqihkan dia terhadap agama. Aku hanyalah yang membagi-bagikan sedang Allah yang memberi. Dan senantiasa ummat ini akan tegak diatas perintah Allah, mereka tidak akan celaka karena adanya orang-orang yang menyelisihi mereka hingga datang keputusan Allah".(HR. Bukhari)
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan atau mewariskan dirham, tapi mewariskan ilmu, dan inilah sebaik-baik warisan.
c. Akhlak yang baik (Khusnul khuluk)
Ciri dari akhlak yang baik yang dimiliki oleh seorang da’i adalah
1. Semua hal yang bermanfaat bagi manusia ia berikan.
2. Menahan diri untuk tidak menyakiti manusia, sekecil apapun atau sebesar apapun, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
3. Bersabar dari apa yang ia temui. Jika ia mendapatkan atau menemui kebaikan maka ia bersabar, dan jika ia menemui keburukan maka ia bersabar pula.
4. Jika ada yang menyakitinya, ia mampu menahan diri dan bisa menampung perilaku-perilaku tersebut. Ia paham sebagai seorang da’i ia harus mampu dan siap menanggung derita. Rasulullah besabda
5. "Penghuni surga itu ada tiga; pemilik kekuasaan yang sederhana, derma dan penolong, seorang yang berbelas kasih, berhati lunak kepada setiap kerabat dan orang muslim yang sangat menjaga diri dan memiliki tanggungan."
"Penghuni surga itu ada tiga; pemilik kekuasaan yang sederhana, derma dan penolong, seorang yang berbelas kasih, berhati lunak kepada setiap kerabat dan orang muslim yang sangat menjaga diri dan memiliki tanggungan." (HR. Bukhari).
Para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah tentang amalan apa yang banyak memasukkan orang disurga. Rasulullah menjawab: “Akhlak yang baik”.
Orang yang baik akhlaknya adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah. Orang yang paling dekat dengan Rasulullah pada hari akhir nanti juga adalah orang yang paling baik akhlaknya.
Hendaknya para da’i memperhatikan dengan benar masaalah akhlak ini, sebab akhlak yang baik merupakan posisi yang menentukan diterimanya dakwah kita oleh orang lain.
Betapa banyak ahlul bid’ah yang mengajak kepada kebatilan, namun karena akhlak yang ia tunjukkan pada orang-orang baik, lembut, simpati sehingga membuat da’wahnya diterima. Begitu pula sebaliknya, betapa banyak para da’i syar’i yang menyebarkan kebaikan, namun karena ia tidak peka, tidak lembut, dan tidak santun, membuat da’wahnya sulit diterima oleh masyarakat.
Lihatlah bagaimana Rasulullah bersikap sebagai seorang da’i, hampir sebagian besar para sahabat yang masuk Islam di awal-awal kenabian beliau adalah akibat ketinggian dan keagungan akhlak Beliau.
d. Bersabar
Sabar merupakan amalan mulia. Seorang da’i harus mampu mengaplikasikan sabar dalam hidupnya.
1. Seorang da’I, harus bersabar ketika manusia berpaling dan tidak mengikuti dakwahnya atau berpaling darinya. Jika hal ini terjadi maka kita harus berpikiran positif, tidak boleh patah semangat dan berdo’a kepada Allah.
Berda’wah tidaklah sesederhana membalik telapat tangan, kadang ada orang yang langsung memahami dan menerima da’wah kita, ada juga yang butuh waktu lama untuk dapat memahami dan menerima da’wah kita, bahkan mungkin ada yang meninggalkan atau menyakiti kita. Hal ini membutuhkan kesabaran yang besar. Lihatlah contoh-contoh dari para nabi dan Rasul ketika berdakwah. Nabi Nuh as, Nabi Musa as dan Nabi Muhammad SAW.
2. Mesti bersabar maninggalkan hal-hal yang mubah. Seperti bersenang-senang dengan keluarga dan bercanda dengan sahabat-sahabatnya, dan lain-lain.
3. Bersabar dari kurangnya harta. Seorang da’i harus bersabar ketika ia tau bahwa dengan menjadi da’i harta berupa duniawi akan sedikit ia miliki, sebab ia paham bahwa kekayaan yang akan ia raih adalah kekayaan ruhaniyah.
4. Bersabar dalam kelalaian dunia. Seorang da’i tentu memiliki waktu yang kurang dengan dunia, da ini kadang membuatnya lalai dari dunia.
e. Hikmah
Hikmah adalah menempatkan atau meletakkan sesuatu pada tempatnya, atau menekuni amalan yang dilakukannya secara professional.
Seorang da’i harus bersikap lemah lembut dan memperhatikan maslahat dalam da’wahnya serta mndahulukan yang penting.

Diposkan Oleh: Ihwan as Siompuni
Disimak dan dicatat dari materi Daurah sehari Syaikh ‘Abdullah Bin Hamid Az-Zaidany (Murid Syaikh Muhammad Solih Al-Hutsaimin), Masjid Wihdatul Ummah, DPC Wahdah Islamiah Makassar, Makassar, 23 Mei 2010 M.

“Cukuplah kematian sebagai peringatan”.

Sebagai utusan Allah subuhanahu wata’ala, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tentu mengetahui hal-hal apa yang paling penting untuk diketahui oleh ummatnya. Dan peringatan-peringatan yang Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berikan merupakan sebuah bentuk cerminan kecintaan Beliau terhadap ummatnya.
Salah satu peringatan yang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sampaikan adalah peringatan tentang kematian. Ya, kematian, yang mana kebanyakan orang lalai akan hal ini.
Rasulullah bersabda “Cukuplah kematian sebagai peringatan”.
Peringatan yang harus diketahui, peringatan yang penting untuk dingat. Sebab kematian bukanlah permainan, kematian bukanlah sandiwara. Kematian akan datang kepada siapa saja yang bernyawa tidak memandang usia, jabatan, status dan lain-lain. Kematian akan datang menjemput, mulai dari presiden hingga tukang becak, mulai dari orang yang paling pintar sampai pada orang yang paling bodoh, mulai dari orang yang paling baik hingga orang yang paling bejat sekalipun sekalipun.
“Cukuplah kematian sebagai peringatan”.
Ya, peringatan ini peringatan untuk kita. Ketika kita melihat orang meninggal dan mendengar kabar kematian, mengapa hati kita masih begitu keras untuk memahami dan meyakini jika kita juga “makhluk bernyawa” pasti akan mengalami hal yang sama, pasti akan mati. Sering kita mengatakan diri kita adalah pribadi yang unggul, pribadi yang mudah tersinggung jika seandainya ada orang yang mengatakan kita sabagai orang yang bodoh, namun mengapa peringatan semacam ini kita tidak bias mengambil pelajaran didalamnnya.
“Cukuplah kematian sebagai peringatan”.
Ingatlah, apa yang sudah engaku persiapkan untuk menghadapi kematian, sudahkah ada bekal yang baik dan cukup, ataukan dunia telah membuatmu lalai dan lupa akan kepastian ini. Sungguh, pahamilah api neraka itu, tingkat paling atas hingga paling bawah, tdaklah sanggup engkau hadapi. Naudzubillah.
“Cukuplah kematian sebagai peringatan”.
Ya, orang yang beramal saja belum tentu amalannya diterima, orang sholat saja belum tentu diterima. Olehnya itu, ingatlah kematian!, ingatlah kematian! Hingga engkau akan menyerahkan ibadahmu, amalanmu hanya kepada amal semata. Jadikanlah kesempatan hidup ini untuk senantiasa mengingat kematian.
“Cukuplah kematian sebagai peringatan”.
Ya, ingatlah hidup ini hanya sementara. Akhiratlah yang kekal, jangan engkau akhiri hidup ini dengan keburukan, akhirilah dengan kebaikan. Beribadah di jalan Allah.
Wallahu Ta’ala A’lam

Ihwan Ibnu Mai as Siompuni

YANG DIANGGAP MAHROM PADAHAL BUKAN DAN HAL-HAL YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN.

Oleh
Ahmad Sabiq bin Abdul Latif

Pada kesempatan kali ini, kita simak pembahasan tentang beberapa kekeliruan sebagian kalangan dalam memahami mahrom. Dilanjutkan tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan mahrom. Semoga bermanfaat.

DIANGAP MAHROM PADAHAL BUKAN

Disebabkan keogahan dalam mendalami ilmu agama Islam, maka banyak kita jumpai adanya beberapa anggapan keliru dalam mahrom. Otomatis berakibat fatal, orang-orang yang sebenarnya bukan mahrom dianggap sebagai mahromnya. Sangat ironis memang, tapi demikianlah kenyataannya. Oleh karena itu dibutuhkan pembenahan secepatnya.

Berikut ini beberapa orang yang dianggap mahrom tersebut:

[1]. Ayah Dan Anak Angkat.
Hal ini berdasarkan firman Allah :
"Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu." [Al-Ahzab: 4]

[2]. Sepupu (Anak Paman/Bibi).
Hal ini berdasarkan firman Allah setelah menyebutkan macam-macam orang yang haram dinikahi:

"Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian. [An-Nisa': 24]

Menjelaskan ayat tersebut, Syaikh Abdur Rohman Nasir As-Sa'di berkata:

" Hal itu seperti anak paman/bibi (dari ayah) dan anak paman/bibi (dari ibu)". [Lihat Taisir Karimir Rohman hal 138-139]

[3]. Saudara Ipar.
Hal ini berdasarkan hadits berikut:
"Waspadailah oleh kalian dari masuk kepada para wanita, berkatalah seseorang dari Anshor: "Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu kalau dia adalah Al-Hamwu (kerabat suami)? Rasulullah bersabda; "Al-Hamwu adalah merupakan kematian". [HR Bukhori; 5232 dan Muslim 2172]

Imam Baghowi berkata; " Yang dimaksud dalam hadits ini adalah saudara suami (ipar) karena dia tidak termasuk mahrom bagi si istri. Dan seandainya yang dimaksud adalah mertua padahal ia termasuk mahrom, lantas bagaimanakah pendapatmu terhadap orang yang bukan mahrom?" Lanjutnya: "Maksudnya, waspadalah terhadap saudara ipar sebagaimana engkau waspada dari kematian".

[4]. Mahrom Titipan.
Kebiasaan yang sering terjadi, apabila ada seorang wanita ingin bepergian jauh seperti berangkat haji, dia mengangkat seorang lelaki yang 'berlakon' sebagai mahrom sementaranya. Ini merupakan musibah yang sangat besar. Bahkan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani menilai dalam Hajjatun Nabi (hal 108) ; "Ini termasuk bid'ah yang sangat keji, sebab tidak samar lagi padanya terdapat hiyal (penipuan) terhadap syari'at. Dan merupakan tangga kemaksiatan".

WANITA DENGAN MAHROMNYA

Setelah memahami macam-macam mahrom, perlu diketahui pula beberapa hal yang berkenaan tentang hukum wanita dengan mahromnya adalah:

[1]. Tidak Boleh Menikah
Allah berfirman :
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);,dan menghimpunkan (dalam perkawinan)dua perempuan yang bersaudara,kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, [An-Nisa' :22-23]

[2]. Boleh Menjadi Wali Pernikahan
Wali adalah syarat saya sebuah pernikahan, sebagaiman diriwayatkan oleh 'Aisyah radliyallahu 'anha bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

"Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil (tidak sah), maka nikahnya batil, maka nikahnya batil." [HSR Abu Daud 2083, lihat Irwaul Golil 6/243]

Juga riwayat dari Abi Musa Al Asy'ari berkata Rasulullah shallallahu 'alaih wassallam bersabda :

"Tidak sah nikah kecuali ada wali. [HSR Abu Daud 2085,lihat Irwaul Gholil 6/235]

Berkata Imam At-Tirmidzi: "Yang diamalkan oleh para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wassallam dalam masalah wali pernikahan adalah hadits ini, diantaranya adalah Umar bin Khothob, Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan juga selain mereka." [Lihat Sunan Tirmidzi 3/410 Tahqiq Muhammad Fu'ad Abul Baqi]

Namun tidak semua mahrom berhak menjadi wali pernikahan begitu juga sebaliknya tidak semua wali itu harus dari mahromnya. Contoh wali yang bukan dari mahrom seperti anak laki-laki paman (saudara sepupu laki-laki), orang yang telah memerdekakannya, sulthon. Adapun Mahrom yang tidak bisa menjadi wali seperti karena sebab mushoharoh.

[3]. Tidak Boleh Safar (Bepergian Jauh) Kecuali Dengan Mahromnya
Banyak sekali hadits yang melarang wanita mengadakan safar kecuali dengan mahromnya, diantaranya:

Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu 'anhu berkata: Berkata Rasulullahu shallallahu 'alahi wassallam: "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan safar lebih dari tiga hari kecuali bersama ayah, anak laki-laki, suami, saudara laki-laki atau mahrom lainnya." [HR Muslim 1340]

Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu 'anhuma dari Rasulullahu Shallallahu 'alaihi wassallam berkata: " Janganlah seorang wanita muslimah bepergian selama dua hari kecuali bersama suaminya atau mahromnya." [HR Ibnu Khuzaimah: 2522]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bersabsa Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassallam : "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan safar sehari semalam tidak bersama mahromnya." [HR Bukhori: 1088, Muslim 1339]

Dari beberapa hadits ini, kita ketahui bahwa terlarang bagi wanita muslimah untuk mengadakan safar kecuali bersama mahromnya, baik safar itu lama ataupun sebentar. Adapun batasan beberapa hari yang terdapat dalam hadits di atas tidak dapat di fahami sebagai batas minimal.

Berkata Syaikh Salim Al Hilali: "Para Ulama' berpendapat bahwa batasan hari dalam beberapa hadits di atas tidak dimaksudkna untuk batasan minimal. Dikarenakan ada riwayat yang secar umum melarang wanita safar kecuali bersama mahromnya, baik lama maupun sebentar, seperti riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma beliau berkata: Saya mendengar Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

"Jangan seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahromnya, juga jangan safar dengan wanita kecuali bersama mahromnya, maka ada seorang lelaki berdiri lalu berkata :

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri saya pergi haji padahal saya ikut dalam sebuah peperangan. Maka Rasulullah menjawab: "Berangkatlah untuk berhaji dengan istrimu."[HR Bukhori: 3006,523, Muslim 1341, Lihat Mausu'ah Al Manahi Asy Syari'ah 2/102]

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah: "Kebanyakan ulama' memberlakukan larangn ini untuk semua safar karena pembatasn yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut sangat berbeda-beda." [Lihat Fathul Bari 4/75]

Syaikh sholeh Al Fauzan Hafidzuhullah ditanya tentang hukum wanita safar dengan naik pesawat domestik dalam negeri tanpa mahrom, apakah itu diperbolehkan? Jawab beliau: "Tidak boleh bagi seorang wanita mengadakan safar tanpa mahrom, baik naik pewasat atau mobil, karena Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassalam bersabda: "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengadakan safar sehari semalam kecuali bersama mahrom." Maka safar wanita tanpa mahrom itu tidak boleh meskipun dengan alat transportasi yang cepat, karena pesawat atau mobil itu mungkin saja bisa terlambar, rusak, atau terjadi hal-hal lain yang mengharuskan wanita itu harus bersama mahromnya agar bisa menjaganya saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan." [Al Muntaqo min Fatwa Syaikh Sholeh Al Fauzan 5/387]

[4]. Tidak Boleh Kholwat (Berdua-Duaan) Kecuali Bersama Mahromnya

[5]. Tidak Boleh Menampakkan Perhiasannya Kecuali Kepada Mahromnya

[6]. Tidak Boleh Berjabat Tangan Kecuali Dengan Mahromnya

Jabat tangan dengan wanita di zaman ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah, padahal Rasullah shallallahu 'alaihi wassallam sangat mengancam keras pelakunya: Dari Ma'qil bin Yasar radhyallahu 'anhu :

Bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam: "Seandainya kepala seseorang di tusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (Hadits hasan riwayat Thobroni dalam Al-Mu'jam Kabir 20/174/386 dan Rauyani dalam Musnad: 1283 lihat Ash Shohihah 1/447/226)

Berkata Syaikh Al Albani rahimahullah: "Dalam hadits ini terdapat ancaman keras terhadap orang-orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya, termasuk malsaha berjabat tangan, karena jabat tangan itu termasuk menyentuh." [Ash Shohihah 1/448]

Dan Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassalam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita, meskipun dalam keadaan-keadaan penting seperti membai'at dan lain-lain.

Dari Umaimah bintih Ruqoiqoh radhiyallahu 'anha: Bersabda Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassallam: "Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita." [HR Malik 2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, dll]

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha: "Demi Allah, tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun dalam keadaan membai'at. Beliau tidak memba'iat mereka kecuali dengan mangatakan: "Saya ba'iat kalian." [HR Bukhori: 4891]

Keharaman berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahromnya ini berlaku umum, baik wanita masih muda ataupun sudah tua, cantik ataukah jelek, juga baik jabat tangan tersebut langsung bersentuhan kulit ataukah dilapisi dengan kain.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang hal tersebut, maka beliau menjawab: Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahromnya secara mutlak, baik wanita tersebut masih muda ataukah sudah tua renta, baik lelaki yang berjabat tangan tesebut masih muda ataukah sudah tua, karena berjabat tangan ini bisa menimbulkan fitnah. Juga tidak dibedakan apakah jabat tangan ini ada pembatasnya atau tidak, hal ini dikarenakan keumuman dalil (larangan jabat tangan), juga untuk mencegah timbulnya fitnah". [Fatawa Islamiyah 3/76 disusun Muahmmad bin Abdul Aziz Al Musnid]


[Disalin dengan sedikit diringkas dari: Majalah "Al Furqon", Edisi 4 Th. II, Dzulqo'idah 1423, hal 29-31]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=82&bagian=0

SHALAT SENDIRIAN DI BELAKANG SHAF

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Tanya :
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Bagaimana pendapat yang shahih mengenai orang yang shalat sendirian di belakang imam .?"

Jawaban :
Ada beberapa pendapat tentang shalat sendirian di belakang shaf imam :

[1] Shalatnya sah tetapi menyalahi sunnah, baik shaf yang ada di depannya penuh atau tidak. Inilah yang terkenal dari ketiga imam madzhab ; Malik, Abu Hanifah, dan Al-Syafi'i, dari riwayat Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka menafsirkan hadits kepada ketidaksempurnaan, bukan ketidaksahan : "Artinya : Tidak sempurna shalatnya orang sendirian di belakang shaf".

[2] Shalatnya batal, baik shaf yang di depannya penuh atau tidak. Dasar hukumnya adalah hadits : "Artinya : Tidak sah shalat bagi yang sendirian di belakang imam". Juga hadits yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melihat seorang lelaki shalat sendirian di belakang shaf, lalu ia disuruh agar mengulanginya kembali.

[3] Pendapat moderat ; jika barisan shalat penuh, maka shalat munfarid di belakang imam boleh dan sah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Yakni jika saudara masuk mesjid dan ternyata barisan shalat telah penuh kanan kirinya, maka tidak ada halangan saudara shalat sendirian berdasarkan firman Allah berikut. "Artinya : Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan" [At-Taghaabun : 16]

Jika bukan dalam keadaan seperti itu, maka saudara bisa menempuh cara berikut ; menarik seorang makmum dari shaf untuk shalat bersama saudara ; maju ke depan untuk shalat bersama imam ; sendirian tidak berjama'ah ; atau shalat berjama'ah namun sendirian di belakang shaf karena tidak mungkin masuk ke shaf yang di depan. Inilah empat cara yang bisa dilakukan.

Cara kesatu, yaitu menarik seseorang ke belakang untuk shalat bersama saudara. Cara ini dapat menimbulkan langkah tiga atau terputus dari shaf bahkan bisa memindahkan seseorang dari tempat yang utama ke tempat sebaliknya, mengacaukan dan dapat menggerakkan seluruh shaf karena di sana ada tempat yang kosong yang kemudian diisi oleh masing-masing dengan cara merapatkan hingga timbul gerakan-gerakan yang tanpa sebab syara'.

Cara kedua, maju ke depan untuk shalat bersama imam. Cara ini menimbulkan beberapa kekhawatiran. Jika saudara maju dan berdiri sejajar dengan imam maka cara ini menyalahi sunnah, sebab imam harus sendirian di tempatnya agar diikuti oleh yang dibelakang dan jangan sampai terjadi dua imam. Dalam hal ini tidak bisa diberi alasan dengan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki mesjid dan dijumpainya Abu Bakar tengah shalat berjama'ah lalu beliau ikut shalat di sebelah kirinya dan menyempurnakan shalatnya, karena hal seperti itu dalam keadaan darurat, dimana Abu Bakar ketika itu tak punya tempat di shaf belakang. Akibat lainnya, bila saudara maju ke depan imam, maka dikhawatirkan akan banyak melangkahi pundak orang, sesuai dengan banyaknya shaf. Cara ini jelas akan mengganggu orang shalat yang tidak menyenangkan. Di samping itu, jika setiap yang datang kemudian disuruh ke depan jajaran imam, maka tempat imam akan menjadi shaf penuh dan hal ini menyalahi sunnah.

Sedangkan cara ketiga, yaitu saudara meninggalkan berjama'ah dan shalat sendirian, berarti saudara kehilangan nilai berjama'ah dan nilai barisan shalat. Padahal diketahui bahwa shalat berjama'ah walau sendirian shafnya adalah lebih baik ketimbang sendirian tanpa berjama'ah. Hal ini telah dikuatkan oleh berbagai atsar (keterangan shahabat) dan pandangan yang sehat. Allah sendiri tak akan membebani seseorang kecuali menurut kesanggupannya.

Maka menurutku pendapat yang terkuat adalah jika shaf shalat telah penuh lalu seseorang shalat di belakang shaf dengan berjama'ah adalah lebih baik dan shalatnya sah.


[Disalin dari buku Fatawa Syaikh Muhammad Al-Shaleh Al-Utsaimin, edisi Indonesia 257 Tanya Jawab, Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Gema Risalah Press hal. 96-97 alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=296&bagian=0

PEKERJAAN WANITA MUSLIMAH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah boleh bekerjanya kaum wnaita di kantor-kantor, yaitu jika bekerjanya itu di kantor urusan agama dan perwakafan ?

Jawaban
Bekerjanya kaum wanita di kantor-kantor tidak terlepas dari dua kemungkinan.

Pertama.
Di kantor-kantor khusus wanita, misalnya kantor pembinaan sekolah-sekolah puteri dan sejenisnya yang hanya dikunjungi oleh kaum wanita. Bekerjanya wanita di kantor semacama ini tidak apa-apa.

Kedua.
Jika dikantornya terjadi campur baur antara kaum laki-laki dengan kaum wanita, maka wanita tidak boleh bekerja di sana dengan mitra kerja laki-laki yang sama-sama bekerja di satu tempat bekerja. Demikian ini karena bisa terjadi fitnah akibat bercampur baurnya kaum laki-laki dengan kaum wanita.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya terhadap fitnah kaum wanita, beliau mengabarkan bahwa setelah meninggalnya beliau, tidak ada fitnah yang lebih membahayakan kaum laki-laki dari pada fitnahnya kaum wanita, bahkan di tempat-tempat ibadah pun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan jauhnya kaum wanita dari kaum laki-laki, sebagaimana disebutkan dalam salah satu sabda beliau.

“Artinya : Sebaik-baik shaf kaum wanita adalah yang paling akhir (paling belakang) dan seburuk-buruknya adalah yang pertama (yang paling depan)” [Hadits Riwayat Muslim dalam Ash-Shalah 440]

Karena shaf pertama (paling depan) adalah shaf yang paling dekat dengan shaf kaum laki-laki sehingga menjadi shaf yang paling buruk, sementara shaf yang paling akhir (paling belakang) adalah yang paling jauh dari shaf laki-laki. Ini bukti nyata bahwa syari’at menetapkan agar wanita menjauhi campur baur dengan laki-laki. Dari hasil pengamatan terhadap kondisi umat jelas sekali bahwa campur baurnya kaum wanita dengan kaum laki-laki merupakan fitnah besar yang mereka akui, namun kini mereka tidak bisa melepaskan diri dari itu begitu saja, karena kerusakan merajalela.

[Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal.82-83]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 520 “ 521 Darul Haq]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=969&bagian=0

NASEHAT DALAM MENGHADAPI IKHTILAF DI ANTARA IKHWAH SALAFIYIN

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzohullah
Syaikh Dr.Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah
Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan [3/3]



II. Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah

[11]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh adakah perbedaan antara hajr dan tahdzir, jika ada perbedaan, apakah setiap orang yang kita tahdzir itu harus dihajr ?

Jawaban:
Ya, ada perbedaan, tahdzir adalah memperingatkan manusia dari kesalahan atau dari orang yang bersalah, adapun hajr yaitu memboikot (mengucilkan) seseorang untuk kemaslahatan baik itu kemaslahatan agama kamu atau kemaslahatan dakwah dan ummat, tapi tidak setiap yang kita tahdzir itu harus dihajr. Terkadang teman kita bersalah kemudian kita tahdzir dari kesalahannya dan tidak kita hajr, kita katakan: si fulan seorang yang baik, mempunyai keutamaan dan ilmu, tapi dia salah dalam masalah ini . Banyak para ulama yang mentahdzir kesalahan sebagian ulama yang lain, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang kesalahan sebagian ulama dalam beberapa masalah, beliau menjawab: Alim fulan salah dalam masalah ini, tapi beliau tidak menghajr dia, tidak juga mencelanya, tapi beliau menjelaskan kesalahannya, demikian pula para ulama sebelum beliau ketika ditanya tentang suatu masalah, mereka menjawab: ini salah, tapi tidak mengharuskan orang yang salah itu dihajr.

[12]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh seberapa jauh kebenaran perkataan bahwa fulan ikhwany tapi aqidahnya salafy, atau tablighy tapi aqidahnya salafy, jika perkataan ini benar, lantas apa makna perkataan itu ?

Jawaban:
Ikhwanul Muslimin mempunyai penyimpangan yang banyak dalam aqidah, termasuk kesalahan mereka yang paling besar dalam manhaj adalah menyatukan manusia (tanpa memilah aqidah) dan kaidah mereka yang salah yaitu saling memberikan udzur sesama kita dalam hal-hal yang diperselisihkan, dan bersatu dalam hal-hal yang kita sepakati, ini sangat bertentangan dengan aqidah ahlussunnah waljamaah. Jamaah Tabligh pun mempunyai banyak kesalahan. Bagaimana mungkin bisa dikatakan fulan manhajnya tablighy tapi aqidahnya salafy. Karena aqidah dan manhaj ahlussunnah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, aqidah dan manhaj tidak mungkin dipisahkan satu sama lainnya, tapi (jika seorang sunny) salah, kita katakan: fulan salah dalam masalah ini tapi dia masih di atas pokok-pokok ahlussunnah, seperti halnya kita katakan murjiah fuqoha, maknanya bahwa mereka adalah fuqoha dan ahlul ilmi serta murjiah ahlussunnah, artinya dia ahlussunnah, tapi dalam masalah ini dia salah, ini bisa dikatakan jika kesalahannya bersifat juziy (cabang).

Adapun jika fulan menyimpang dari manhaj secara keseluruhan, tidak bias kita katakan: dia manhajnya begini tapi aqidahnya begini, tapi kita harus mengetahui bahwa aqidah ahlussunnah dan manhajnya tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.

[13]. Pertanyaan
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Jazakumullohu khairan atas nasihat ini, sekarang kami merasa sangat kurang dalam usaha untuk mendamaikan antara ikhwah apalagi dalam berdoa untuk kebaikan mereka, terutama mendoakan orang yang menyelisihi kami agar mendapatkan hidayah, juga masalah niat, terkadang ketika menasehati, kami tidak ikhlas karena Allah tapi karena tujuan duniawi, maka apakah nasihat Anda pada kami, dan bagaimanakah Salaf dalam menjaga niat mereka serta keinginan kuat mereka untuk mendoakan saudara-saudaranya ?

Jawaban:
Wajib bagi setiap muslim untuk mengikhlaskan niatnya karena Allah dalam amalannya, manusia dalam setiap amalannya bertujuan untuk mewujudkan keselamatan dirinya. Sebelum kita berusaha untuk mendamaikan dan memberikan petunjuk (hidatul irsyad, peny.) pada manusia, kita harus berusaha menyelamatkan diri kita, dan ini tidak bisa kita lakukan kecuali dengan mengikhlaskan niat karena Allah semata serta menginginkan wajah Allah di setiap amalan kita, juga merasa bahwa Allah senantiasa mengawasi kita, mungkin manusia tidak tahu niat kita karena niat itu tersembunyi, sehingga kita bisa membohongi diri kita dan manusia dengan memperlihatkan nasihat, padahal Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kita:

Dan apa yang kalian perlihatkan serta sembunyikan dalam diri kalian Allah akan hisab kalian. [Al-Baqarah: 284], maka wajib atas setiap muslim untuk mengikhlaskan niatnya.

Kaum Salaf sangat berkeinginan untuk memberi hidayah pada manusia, dan bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah teladan yang pertama dalam hal ini. Saya akan menceritakan pada kalian sebuah contoh dari sejarah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: Abdullah bin Ubay adalah termasuk orang yang paling banyak menyakiti Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ketika dia mati, anaknya, yaitu Abdullah bin Abdullah bin Ubay radhiyallahuanhu (dan dia adalah seorang sahabat) datang pada Nabi shallallahu alaihi wasallam agar Nabi shallallahu alaihi wasallam memohon ampun untuk ayahnya, Nabipun bergegas untuk memohonkan ampun baginya, tapi Umar radhiyallahuanhu melarang beliau, kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Aku dilarang untuk memohonkan ampun mereka sebanyak tujuh puluh kali, maka aku akan mohon lebih dari tujuh puluh kali, kemudian turunlah ayat:

Janganlah kalian menshalati orang yang mati dari mereka selamanya, dan jangan kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. [At-Taubah: 84] [lihat Shahih Bukhari 1/427 no. 1210 dan Shahih Muslim 4/1865 no. 2400. pent]

Lihatlah bagaimana keinginan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, seorang munafik yang menyakiti beliau dan menghalang-halangi dakwah beliau, beliau katakan: Akan saya mohonkan ampunan beginya lebih dari tujuh puluh kali, karena besarnya keinginan beliau shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan hidayah kepada manusia dan ini adalah termasuk nasihat karena Allah Taala.


Wajib atas setiap muslim untuk tidak bermaksiat terhadap Allah di bumi-Nya, dan senang bila tidak ada penyimpangan di muka bumi dan tidak boleh gembira dengan penyimpangan orang lain. Karena jika kita cinta kepada Allah, tentu senang jika Allah ditaati dan tidak dimaksiati, dan ini pada setiap orang, ketika kamu cinta pada seseorang, tentu kamu tidak senang jika dia berbuat maksiat dan dibicarakan kejelekannya, tapi jika kita senang dengan kesalahan orang lain maka ini bukan nasihat karena Allah, karena seorang mukmin senang jika Allah ditaati dan tidak dimaksiati, sampai orang Yahudi dan Nasrani pun kita senang jika mereka beriman.

Karena itu kita harus tamak untuk memberi hidayah kepada manusia, lebih-lebih pada ikhwah kita. Oleh karena itu Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata pada ayahnya: Wahai ayahku, saya senang jika saya dan ayah dimasak dalam kuali yang mendidih di jalan Allah, artinya keduanya dimasukkan dalam kuali yang penuh minyak atau air yang mendidih sehingga badan mereka pun hancur di jalan Allah, dan ini adalah nasihat karena Allah. Demikianlah kewajiban setiap muslim untuk mengikhlaskan amalannya karena Allah.

Termasuk dari contoh kekuatan nasihat dan ikhlas pada sejarah Salaf, apa yang terjadi pada Ali radhiyallahuanhu dalam perang tanding sebelum dimulainya peperangan, beliau mengalahkan lawannya dan menjatuhkannya ke tanah, ketika beliau hendak memukulnya dan membunuhnya dengan pedang, orang itu meludahi muka beliau, maka beliau pun tidak jadi membunuhnya, lantas ditanya mengapa anda tidak membunuhnya. Jawab beliau: Tadinya saya ingin membunuhnya karena Allah, tapi orang itu meludahi saya, sehingga saya pun marah, saya takut jika saya membunuhnya karena kepentingan pribadi (bukan karena Allah), lihat bagaimana salaf menahan diri, ini adalah taufik dari Allah yang tidak akan didapatkan kecuali dengan muroqobah (merasa diawasi oleh) Allah sehingga bisa menahan diri dengan baik. Ini semua berasal dari kekuatan ikhlas karena Allah. Ketika Allah tahu kejujuran niat dan keikhlasannya, Allah pun melindunginya dari segala sesuatu.

Maka dari itu sangat sulit bagi seseorang untuk mengambil sikap dan menghadirkan niatnya dalam keadaan seperti ini. Lihatlah ! Beliau tidak senang untuk membunuh orang kafir itu setelah beliau mampu mengalahkannya padahal beliau dalam keadaan jihad. Salah seorang dari kita bisa saja untuk mengatakan: saya membunuh karena Allah, padahal pada dirinya ada niat lain yang tersembunyi, dia membunuhnya kerena kepentingan pribadi. Maka merupakan keharusan bagi kita untuk mengikhlaskan niat karena Allah serta mendoakan saudara-saudara kita, dan memohonkan bagi mereka hidayah, di waktu kita shalat malam dan pada waktu-waktu dikabulkannya doa, juga menjadikan maksud kita setiap berbicara dan berbuat hanya karena Allah semata, kita ikhlas ketika berbicara, ikhlas ketika diam, ikhlas ketika uzlah (mengasingkan diri), sehingga dalam keadaan bagaimanapun kamu dalam kebaikan yang agung (besar). Adapun jika kita kehilangan niat ikhlas mudah-mudahan Alah melindungi kita darinya-, walaupun kita berbicara haq, memberi nasihat dan Allah damaikan dengan sebab kita, serta terwujud kebaikan, sementara orang-orang memuji kita, maka amalan kita akan sia-sia, karena tidak terpenuhi niat yang ikhlas. Kita ambil pelajaran dari sebuah hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah turun pada hamba-Nya untuk memutuskan, dan seluruh manusia berlutut, orang yang pertama kali dipanggil adalah orang yang membaca Al-Quran, orang yang beperang di jalan Allah, dan orang yang mempunyai banyak harta. Allah berfirman kepada pembaca Al-Quran: bukankan Aku telah ajarkan padamu apa yang Aku turunkan pada Rasul-Ku? jawab orang itu: benar ya Robbi, firman-Nya: apa yang kamu amalkan? orang itu menjawab: saya membacanya siang malam, firman-Nya: bohong.!! Kata malaikat: kamu bohong!! firman-Nya: kamu membacanya karena ingin disebut qori, dan telah dikatakan padamu. Kemudian didatangkan orang yang mempunyai banyak harta, Allah berfirman padanya: bukankan Aku telah meluaskan rizkimu sehingga kamu tidak butuh pada seorangpun? jawabnya: benar ya Robbi, firman-Nya : Lantas apa yang kamu amalkan dengan pemberianku itu?, jawabnya: dulu saya menyambung silaturahmi dan bersedekah, firman-Nya: kamu bohong!!, kata malaikat: kamu bohong!!, firman-Nya: kamu berinfaq karena ingin disebut dermawan dan telah dikatakan padamu. Kemudian didatangkan orang yang terbunuh di jalan Allah, Allah berfirman padanya: Apa yang kamu perangi?, Jawabnya: Saya diperintahkan untuk berjihad di jalan-Mu, saya pun berperang hingga terbunuh, firman-Nya: kamu bohong!!, kata malaikat: kamu bohong!!, firman-Nya: kamu berperang karena ingin disebut pemberani dan telah dikatakan padamu.. Berkata Abu Hurairah radhiyallahuanhu : Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memukul lututnya seraya bersabda: Tiga orang ini adalah makhluk yang neraka disulut pertama kali untuk mereka.


Yang perlu kita garis bawahi adalah sabda beliau shallallahu alaihi wasallam waqad qiila ini menunjukkan bahwa kebanyakan yang dikatakan di dunia sebagai alim atau dermawan atau pemberani tidak menginginkan wajah Allah, kita takut atas diri kita, terkadang orang mengatakan tentang kita: fulan alim, atau fulan ahlussunnah, dan Allah tahu hati kita, maka kita wajib untuk menyadari dalam keadaan ini, karena jika niat dimasuki riya akan dikatakan pada kita di hadapan seluruh makhluk (pada hari kiamat): kamu berbuat itu karena ingin dikatakan begini dan sudah dikatakan begitu (di dunia), sehingga kita pun dilempar ke neraka, ini perkara yang sangat berbahaya. Hendaklah seorang insan memohon pada Allah keikhlasan dalam perkataan dan perbuatan dia di setiap waktu, tidak ada seorang manusia pun kecuali dia lemah, tapi apabila Allah mengetahui kekuatan ikhlas, kesungguhan dan kesabaran seorang hamba, maka Allah akan memberinya taufiq, sebagaimana dalam hadits:

"Artinya : Senantiasa seorang hamba bertaqorrub kepada-Ku dengan nawafil (amalan-amalan sunnat) sehingga Aku mencintainya. [Hadits iwayat Bukhari 5/2384 no. 6137. Pent]

Dan sebagai pelindung bagi kita dari hal itu adalah dengan memperbanyak amal shalih dan ketaatan, jangan sampai kita disibukkan oleh ilmu dan melupakan amal, karena ilmu itu sarana untuk beramal. Jika kita disibukkan oleh ilmu dan melupakan amal, maka ilmu kita itu tidak bermanfaat. Berkata Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu:

Hubungilah ilmu dengan amal, jika dia menjawab (maka kebaikan untuknya) dan jika tidak, maka ilmu itu akan pergi.

Ketika kamu semakin istiqamah dalam ketaatan pada Allah, maka Allah akan melindungimu dari fitnah, jika kamu menjaga shalat, dzikir-dzikir dan amalan baik, (Allah akan melindungimu) ketika fitnah melanda manusia, dan kamu mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah. Bukankah Allah berfirman dalam hadits qudsi: Jika seorang hamba senantiasa bertaqorrub pada-Ku sehingga Aku mencintainya, maka Aku pendengarannya yang dia mendengar dengannya, pandangannya yang dia melihat dengannya, tangannya yang dia memukul dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya. Mengapa? Karena Allah melindunginya, maka setiap orang yang ingin selamat dari fitnah hendaklah memperbanyak ketaatan dan ibadah, inilah yang bermanfaat.

Demi Allah !! ilmu saja tidak akan bermanfaat. Bisa saja kamu orang yang paling alim tapi kamu terfitnah dalam agamamu karena kamu tidak bisa mengambil manfaat kecuali dengan ilmu dan fiqih dalam agama serta istiqomah dalam ketaatan. Karena itu jika kalian perhatikan, siapakah yang selamat ketika fitnah melanda ummat dan manusia? Ulamalah yang selamat, tapi apakah mereka selamat karena ilmu saja ? Tidak, mereka selamat karena mereka ahlul ibadah, Allah melindungi mereka karena ibadah, dan berjatuhanlah dalam fitnah itu para ulama-ulama suu (jelek) dan orang-orang yang berbuat karena riya, kita berlindung kepada Allah dari hal ini, karena seseorang terkadang menjadi hina disebabkan amalannya. Inilah kewajiban yang harus dilakukan oleh penuntut ilmu, untuk sungguh-sungguh melakukan ishlah, tapi sebelumnya kita harus memperbaiki diri kita, apakah kita akan mengishlah manusia sementara diri kita sakit, akankah kita memperbaiki rumah orang sementara rumah kita roboh ?

Kita perbaiki hati dan amalan kita serta selalu merasa diawasi oleh Allah, sibukkanlah diri kita dengan hal yang mendekatkan kita pada Allah, perkara itu sungguh besar, sungguh berbahaya, karena kita akan datang nanti untuk dihisab, Allah akan menghisab setiap orang apa yang ada pada dirinya Pada hari diperlihatkan seluruh rahasia [At-Thoriq: 9]. Akan diperlihatkan pada kita catatan amalan kita yang bagaikan gunung, kemudian dihadapkan amalan itu kepada Allah kemudian dikatakan ini (amalan) karena Allah dan ini (amalan) karena selain Allah dan tidak tersisa (dari amalan) kecuali amalan yang karena Allah.

Kita doakan saudara-saudara kita dan memohon pada Allah. Jika melihat kesalahan maka kita katakan: Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari kesalahan yang menimpa dia, dan Dia lah yang memberikan keutamaan padaku di atas kebanyakan makhluk-Nya dengan keutamaan yang besar, kita mohonkan bagi mereka hidayah dan kita melihat orang yang menyimpang itu bagaikan seorang pasien, sebagaimana kata Ibnu Taimiyah: Ahlul bidah itu bagaikan orang sakit, maka bolehkah kita memperolok orang yang sedang sakit badannya? Jika kita melihat orang yang buntung tangannya, apakah kita perolok ? Orang yang berakal tak akan melakukannya. Mereka (ahlul bidah) itu fitnahnya lebih besar, karena mereka diuji dalam agama mereka, kasihan mereka itu. Maka sayangilah dan kasihanilah dia, jangan kamu cela, jangan suka membicarakannya dan menyebarkan kesalahannya, tapi kita mohon pada Allah agar memberinya hidayah dan menyelamatkannya dari apa yang sedang menimpa dia, serta meminta perlindungan kepada Allah dari musibah ini.

[14]. Pertanyaan:
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Jazakumullahu khairan mudah-mudahan Allah memberikan kebaikan pada Anda di dunia dan akhirat, apakah point-point penting dari nasihat tadi ?

Jawaban.

Point-Point Penting Dari Nasihat Tadi Adalah:

[a]. Mengikhlaskan niat karena Allah dalam perkataan dan perbuatan.
[b]. Menambah bekal ilmu syariat serta mengetahui apa yang bermanfaat bagi kita, dan ilmu itu ada yang wajib hukumnya ada juga yang sunnat, maka kita memulai dari apa yang Allah wajibkan atas kita, kemudian baru yang sunnat.
[c]. Memperbanyak ketaatan dan istiqomah dalam ketaatan pada Allah.
[d]. Menjauhi bidah dalam perkataan dan perbuatan kita.
[e]. Mempersedikit majelis yang tidak ada manfaatnya, bahkan menjauhi majelis tersebut dan menyibukkan diri dengan ketaatan pada Allah. Setiap majelis yang mendekatkan diri kita kepada Allah, kita duduk di dalamnya, dan setiap majelis yang menjauhkan diri kita dari Allah kita jauhi. Ini adalah hal yang dapat dirasakan oleh setiap orang, terkadang kamu merasa imanmu berkurang setelah bangkit dari suatu majelis, tapi sebagian majelis lagi justru sebaliknya malah menambah keimanan. Maka duduklah di majelis seperti itu.

Demikianlah . Saya memohon pada Allah agar memberikan taufiq pada kita semua, shalawat dan salam serta barakah semoga tercurah atas Nabi shallallahu alaihi wasallam .


[Risalah ini disusun Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen (Mhs Universitas Islam Madinah) dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk (Mhs Universitas Islam Madinah)]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=154&bagian=0

MENIKAHNYA GADIS REMAJA ITU LEBIH PENTING DARIPADA MELANJUTKAN STUDI

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saudari berinisial MZ dari kota Thanjah di Maroko melayangkan suratnya yang menyatakan keinginan untuk mengetahui pandangan Islam di dalam problem yang sedang ia hadapi, seraya berkata : “Ketika masih kecil saya sangat bahagia sekali dan banyak teman-teman yang iri karena kebahagian itu sampai saya menjadi remaja yang layak menikah”.

Kemudian ada sebagian lelaki yang ingin menikah datang ke rumah kami untuk melamar saya, namun kedua orang tua saya menolaknya dengan alasan saya harus menyelesaikan studi. Saya sudah sering berupaya meyakinkan kepada mereka bahwa saya mau menikah, dan (saya jelaskan) bahwa menikah tidak akan menggangu studi saya, namun mereka tetap bersikeras menolak untuk merestuinya.

Lalu, apakah boleh saya menikah tanpa persetujuan mereka berdua ? Jika tidak, apa yang harus saya lakukan ? Berilah saya jawabnya, semoga Allah berbelas kasih kepada Syaikh.

Jawaban
Tidak diragukan lagi bahwa penolakan kedua orang tua anda untuk menikahkan anda dengan orang yang pantas adalah merupakan perbuatan haram, (sebab) menikah itu lebih penting daripada sekolah dan juga tidak menapikan sekolah, karena dapat dipadukan. Maka dalam kondisi seperti ini boleh anda menghubungi Kantor Pengadilan Agama untuk menyampaikan apa yang telah terjadi, dan keputusan pada mereka (Kantor Pengadilan itu). (Kalau Kantor Pengadilan Agama menyetujui anda menikah, maka boleh anda menikah tanpa persetujuan kedua orang tua, -pent)

[Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, Jilid 2, hal 754]


[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 418-419 Darul Haq]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=445&bagian=0

LARANGAN ABU HANIFAH TERHADAP ILMU KALAM DAN BERDEBAT DALAM MASALAH AGAMA

Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais


[1]. Imam Abu Hanifah berkata: “Di kota Bashrah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (selera) sangat banyak. Saya dating di Bashrah lebih dari dua puluh kali. Terkadang saya tinggal di Bashrah lebih dari satu tahun,, terkadang satu tahun, dan terkadang kurang dari satu tahun. Hal itu karena saya mengira bahwa Ilmu Kalam itu adalah ilmu yang paling mulia.” [1]

[2]. Beliau menuturkan: “Saya pernah mendalami Ilmu Kalam, sampai saya tergolong manusia langka dalam Ilmu Kalam. Suatu saat saya tinggal dekat pengajian Hammad bin Abu Sulaiman. Lalu ada seorang wanita datang kepadaku, ia berkata: “Ada seorang lelaki mempunyai seorang istri wanita sahaya. Lelaki itu ingin menalaknya dengan talak yang sesuai sunnah. Berapakah dia harus menalaknya?”

Pada saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya jawab. Saya hanya menyarankan agar dia dating ke Hammad untuk menanyakan hal itu, kemudian kembali lagi ke saya, dan apa jawaban Hammad. Ternyata Hammad menjawab: “Lelaki itu dapat menalaknya ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan juga tidak dilakukan hubungan jima”, dengan satu kali talak saja. Kemudian istrinya dibiarkan sampai haid dua kali. Apabila istri itu sudah suci lagi, maka ia halal untuk dinikahi.

Begitulah, wanita itu kemudian datang lagi kepada saya dan memberitahukan jawaban Hammda tadi. Akhirnya saya berkesimpulan, “saya tidak perlu lagi mempelajari Ilmu Kalam. Saya ambil sandalku dan pergi untuk berguru kepada Hammad.” [2]

[3]. Beliau berkata lagi: “Semoga Allah melaknati Amr bin Ubaid, karena telah merintis jalanuntuk orang-orang yang mempelajari Ilmu Kalam, padahal ilmu ini tidak ada gunanya bagi mereka.” [3]

Beliau juga pernah ditanya seseorang, “Apakah pendapat anda tentang masalah baru yang dibicarakan orang-orang dalam Ilmu Kalam, yaitu masalah sifat-sifat dan jism?” Beliau menjawab, “itu adalah ucapan-ucapan para ahli filsafat. Kamu harus mengikuti hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan metode para ulama salaf. Jauhilah setiap hal yang baru karena hal itu adalah bid’ah.” [4]

[4]. Putra Imam Abu Hanifah, yang namanya Hammad, menuturkan, “Pada suatu hari ayah datang ke rumahku. Waktu itu di rumah ada orang-orang yang sedang menekuni Ilmu Kalam, dan kita sedang berdiskusi tentang suatu masalah. Tentu saja suara kami keras, sehingga tampaknya ayah terganggu. Kemudian saya menemui beliau, “Hai Hammad, siapa saja orang-orang itu?”, Tanya beliau. Saya menjawab dengan menyebutkan nama mereka satu persatu. “Apa yang sedang kalian bicarakan?”, Tanya beliau lagi. Saya menjawab, “Ada suatu masalah ini dan itu”. Kemudian beliau berkata: “Hai Hammad, tinggalkanlah Ilmu Kalam.”

Kata Hammad selanjutnya: “Padahal setahu saya, ayah tidak pernah berubah pendapat, tidak pernah pula menyuruh sesuatu kemudian melarangnya. “Hammad kemudian berkata kepada beliau., “wahai Ayahanda, bukankah ayahanda pernah menyuruhku untuk mempelajari Ilmu Kalam? “ya, memang pernah”. Jawab beliau, “Tetapi itu dahulu. Sekarang saya melarangmu, jangan mempelajari Ilmu Kalam”, tambah beliau

“Kenapa, wahai ayahanda?”, Tanya Hammad lagi. Beliau menjawab, “Wahai anakku, mereka yang berdebat dalam Ilmu Kalam, pada mulanya adalah bersatu pendapat dan agama mereka satu. Nemun syetan mengganggu mereka sehinggamereka bermusuhan dan berbeda pendapat.” [5]

[5]. Kepada Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah berkata: “Jangan sekali-kali kamu berbicara kepada orang-orang awam dalammasalah ushuluddin dengan mengambil pendapat Ilmu Kalam, karena mereka akan mengikuti kamu dan akan merepotkan kamu.” [6]

Inilah rangkuman dari pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah, tentang aqidah beliau dalam masalah ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu Kalam dan ahli-ahli Ilmu Kalam



[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Al-Kurdi, Manaqib Abi Hanifah, hal.137
[2]. Tarikh Baghdad XIII/333
[3]. Al-Harawi, Dzamm 'Ilm Al-Kalam, hal. 28-31
[4]. Al-Harawi, Dzamm 'Ilm Al-Kalam, lembar 194-B
[5]. Al-Makki, Manaqib Abu Hanifah, hal.183-184
[6]. Ibid, hal.37



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1191&bagian=0

HUKUM MENDENGARKAN MUSIK DAN LAGU SERTA MENGIKUTI SINETRON

Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum mendengarkan musik dan lagu ? Apa hukum menyaksikan sinetron yang di dalamnya terdapat para wanita pesolek ?

Jawaban
Mendengarkan musik dan nyanyian haram dan tidak disangsikan keharamannya. Telah diriwayatkan oleh para sahabat dan salaf shalih bahwa lagu bisa menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam hati. Lagu termasuk perkataan yang tidak berguna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” [Luqman : 6]

Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan ayat ini berkata : “Demi Allah yang tiada tuhan selainNya, yang dimaksudkan adalah lagu”.

Penafsiran seorang sahabat merupakan hujjah dan penafsirannya berada di tingkat tiga dalam tafsir, karena pada dasarnya tafsir itu ada tiga. Penafsiran Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, Penafsiran Al-Qur’an dengan hadits dan ketiga Penafsiran Al-Qur’an dengan penjelasan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa penafsiran sahabat mempunyai hukum rafa’ (dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam). Namun yang benar adalah bahwa penafsiran sahabat tidak mempunyai hukum rafa’, tetapi memang merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.

Mendengarkan musik dan lagu akan menjerumuskan kepada suatu yang diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dalam haditsnya.

“Artinya : Akan ada suatu kaum dari umatku menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”

Maksudnya, menghalalkan zina, khamr, sutera padahal ia adalah lelaki yang tidak boleh menggunakan sutera, dan menghalalkan alat-alat musik. [Hadits Riwayat Bukhari dari hadits Abu Malik Al-Asy’ari atau Abu Amir Al-Asy’ari]
Berdasarkan hal ini saya menyampaikan nasehat kepada para saudaraku sesama muslim agar menghindari mendengarkan musik dan janganlah sampai tertipu oleh beberapa pendapat yang menyatakan halalnya lagu dan alat-alat musik, karena dalil-dalil yang menyebutkan tentang haramnya musik sangat jelas dan pasti. Sedangkan menyaksikan sinetron yang ada wanitanya adalah haram karena bisa menyebabkan fitnah dan terpikat kepada perempuan. Rata-rata setiap sinetron membahayakan, meski tidak ada wanitanya atau wanita tidak melihat kepada pria, karena pada umumnya sinetron adalah membahayakan masyarakat, baik dari sisi prilakunya dan akhlaknya.

Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjaga kaum muslimin dari keburukannya dan agar memperbaiki pemerintah kaum muslimin, karena kebaikan mereka akan memperbaiki kaum muslimin. Wallahu a’lam.

[Fatawal Mar’ah 1/106]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan Penerbitan Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1668&bagian=0

NASEHAT SEKITAR PROBLEMATIKA WANITA DAN DOKTER LAKI-LAKI

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : "Apa pendapat yang mulai Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam masalah wanita yang sering dipertanyakan dan menyulitkan kaum muslimin, yaitu masalah wanita dengan dokter laki-laki. Apa nasehat anda bagi para saudari-saudari muslimah tentang masalah ini ? Dan apa saran anda untuk pemerintah ?

Jawaban.
Tidak diragukan lagi bahwa problematika seorang wanita dengan dokter laki-laki adalah problematika yang penting dan sesungguhnya hal tersebut banyak menyulitkan. Tetapi apabila Allah memberi ketakwaan dan akal kepadaseorang wanita, maka tentulah ia akan berhati-hati untuk menjaga dirinya dan memperhatikan masalah ini. Maka ia tidak boleh berdua-duan dengan dokter laki-laki dan seorang dokter laki-laki tidak diperbolehkan untuk berdua-duan dengannya.

Sesungguhnya telah ada peraturan pemerintah yang mengatur hal itu. Maka seorang wanita hendaknya memperhatikan masalah ini dan berusaha semampunya untuk mencari dokter wanita. Apabila ia bisa menemukan dokter wanita, maka -segala puji bagi Allah- dan dokter laki-laki tidak lagi dibutuhkan. Apabila ada kepentingan yang mengharuskannya mendatangi dokter laki-laki karena ketiadaan dokter wanita maka tidak ada larangan -ketika ada kepentingan- untuk membuka aurat dan mengobatinya dan ini termasuk perkara-perkara yang diperbolehkan ketika ada kebutuhan mendasar. Tetapi membuka aurat tidak bisa dilakukan hanya dengan berduaan namun harus ditemani mahramnya atau suaminya apabila yang dibuka adalah anggota badan yang luar seperti kepala, tangan, kaki, dan semisalnya.

Dan apabila yang dibuka adalah aurat, maka harus disertai dengan suaminya, apabila ia mempunyai suami atau wanita lain, dan ini lebih baik dan lebih selamat. Atau dengan kehadiran seorang perawat atau dua orang perawat, tetapi apabila ditemukan seorang wanita selain perawat maka hal tersebut akan lebih baik dan lebih terpelihara dari keraguan. Adapun berkhalwat dengan alasan yang demikian tidaklah diperbolehkan.

[Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Syaikh Bin Baz, 5/392]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-fatwa Tentang Wanita-3, hal 193-195, Darul Haq]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1537&bagian=0

HUKUM MENGENAKAN PAKAIAN YANG BERGAMBAR

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum mengenakan pakaian yang bergambar ?

Jawaban
Seseorang dilarang untuk mengenakan pakaian yang bergambar hewan atau manusia, dan juga dilarang untuk mengenakan sorban serta jubah atau yang menyerupai itu yang didalamnya terdapat gambar hewan atau manusia atau makhluk bernyawa lainnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan hal itu dengan sabdanya.

“Artinya : Malaikat enggan memasuki rumah yang didalamnya terdapat lukisan.” [Hadits Riwayat Al-Bukhari, bab Bad’ul Khalq 3226, Muslim bab Al-Libas 2106]

Maka dari itu hendaklah seseorang tidak menyimpan atau memiliki gambar berupa foto-foto yang oleh sebaigian orang dianggap sebagai album kenangan, maka wajib baginya untuk menanggalkan foto-foto tersebut, baik yang ditempel di dinding, ataupun yang disimpan dalam album dan lain sebagainya. Karena keberadaan benda-benda tersebut menyebabkan malaikat haram (enggan) memasuki rumah mereka. Hadits yang menunjukkan hal itu adalah hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Wallahu a’lam

[Ibn Utsaimin, Al-Majmu ‘Ats-Tsamin, hal 199]


MENYIMPAN FOTO SEBAGAI KENANGAN

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum menyimpan gambar atau foto sebagai kenangan ?

Jawaban.
Menyimpan gambar atau foto untuk dijadikan sebagai kenangan adalah haram, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa malaikat enggan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar. Hal ini menunjukkan bahwa menyimpan gambar atau foto di dalam rumah hukumnya adalah haram. Semoga Allah memberi kita pertolongan.

[Ibn Utsaimin, Al-Majmu ‘Ats-Tsamin, hal 200]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1550&bagian=0

APA PEKERJAAN YANG DIPERBOLEHKAN BAGI PEREMPUAN MUSLIMAH YANG MANA IA BISA BEKERJA DI DALAMNYA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa lahan pekerjaan yang diperbolehkan bagi perempuan muslimah yang mana ia bisa bekerja di dalamnya tanpa bertentangan dengan ajaran-ajaran agamanya ?

Jawaban
Lahan pekerjaan seorang wanita adalah pekerjaan yang dikhususkan untuknya seperti pekerjaan mengajar anak-anak perempuan baik secara administratif ataupun secara pribadi, pekerjaan menjahit pakaian wanita di rumahnya dan sebagainya. Adapun pekerjaan dalam lahan yang dikhususkan untuk orang laki-laki maka tidaklah diperbolehkan baginya untuk bekerja pada lahan tersebut yang akan mengundang ikhtilath sedangkan hal tersebut adalah fitnah yang besar yang harus dihindari.

Perlu diketahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Saya tidak meninggalkan fitnah (godaan) yang lebih berbahaya bagi seorang laki-laki daripada fitnah perempuan”

Maka seorang laki-laki harus menjauhkan keluarganya dari tempat-tempat fitnah dan sebab-sebabnya dalam segala kondisi.

[Fatawa Mar’ah, 1/103]


HUKUM BEKERJANYA SEORANG WANITA DAN LAPANGAN PEKERJAAN YANG DIPERBOLEHKAN BAGI SEORANG WANITA


Oleh
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta


Pertanyaan
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apa hukum wanita yang bekerja ? Dan lapangan pekerjaan apa saja yang diperbolehkan bagi seorang wanita untuk bekerja di dalamnya ?

Jawaban
Tidak seorang pun yang berselisih bahwa wanita berhak bekerja, akan tetapi pembicaraan hanya berkisar tentang lapangan pekerjaan apa yang layak bagi seorang wanita, dan penjelasannya sebagai berikut :

Ia berhak mengerjakan apa saja yang biasa dikerjakan oleh seorang wanita biasa lainnya dirumah suaminya dan keluarganya seperti memasak, membuat adonan kue, membuat roti, menyapu, mencuci pakaian, dan bermacam-macam pelayanan lainnya serta pekerjaan bersama yang sesuai dengannya dalam rumah tangga.

Ia juga berhak mengajar, berjual beli, menenun kain, membuat batik, memintal, menjahit dan semisalnya apabila tidak mendorong pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh syara’ seperti berduaan dengan selain mahram atau bercampur dengan laki-laki lain, yang mengakibatkan fitnah atau menyebabkan ia meninggalkan hal-hal yang harus dilakukannya terhadap keluarganya, atau menyebabkan ia tidak mematuhi perintah orang yang harus dipatuhinya dan tanpa ridha mereka.

[Majalatul Buhuts Al-Islamiyah 19/160]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesiap Fatwa-Fatwa Tentang wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1579&bagian=0

MAHAR BERLEBIH-LEBIHAN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz ditanya : Saya melihat dan semua juga melihat bahwa kebanyakan orang saat ini berlebih-lebihan di dalam meminta mahar dan mereka menuntut uang yang sangat banyak (kepada calon suami) ketika akan mengawinkan putrinya, ditambah dengan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi. Apakah uang yang diambil dengan cara seperti itu halal ataukah haram hukumnya ?

Jawaban
Yang diajarkan adalah meringankan mahar dan menyederhanakannya serta tidak melakukan persaingan, sebagai pengamalan kita kepada banyak hadits yang berkaitan dengan masalah ini, untuk mempermudah pernikahan dan untuk menjaga kesucian kehormatan muda-mudi.

Para wali tidak boleh menetapkan syarat uang atau harta (kepada pihak lelaki) untuk diri mereka, sebab mereka tidak mempunyai hak dalam hal ini ; ini adalah hak perempuan (calon istri) semata, kecuali ayah. Ayah boleh meminta syarat kepada calon menantu sesuatu yang tidak merugikan putrinya dan tidak mengganggu pernikahannya. Jika ayah tidak meminta persyaratan seperti itu, maka itu lebih baik dan utama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya.” [An-Nur : 32]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.” [1]

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menikahkan seorang shahabat dengan perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, ia bersabda.

“Artinya : Carilah sekalipun cincin yang terbuat dari besi.” [Riwayat Bukhari]

Ketika shahabat itu tidak menemukannya, maka Rasulullah menikahkannya dengan mahar ‘’mengajarkan beberapa surat Al-Qur’an kepada calon istri.”

Mahar yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri-istrinya pun hanya bernilai 500 Dirham, yang pada saat ini senilai 130 Real, sedangkan mahar putri-putri beliau hanya bernilai 400 Dirham. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tuladan yang baik.” [Al-Ahzab : 21]

Manakala beban biaya pernikahan itu semakin sederhana dan mudah, maka semakin mudahlah penyelamatan terhadap kesucian kehormatan laki-laki dan wanita dan semakin berkurang pulalah perbuatan keji (zina) dan kemungkaran, dan jumlah ummat Islam makin bertambah banyak.

Semakin besar dan tinggi beban perkawinan dan semakin ketat perlombaan mempermahal mahar, maka semakin berkuranglah perkawinan, maka semakin menjamurlah perbuatan zina serta pemuda dan pemudi akan tetap membujang, kecuali orang dikehendaki Allah.

Maka nasehat saya kepada seluruh kaum Muslimin di mana saja mereka berada adalah agar mempermudah urusan nikah dan saling tolong menolong dalam hal itu. Hindari, dan hindarilah perilaku meununtut mahar yang mahal, hindari pula sikap memaksakan diri di dalam pesta pernikahan. Cukuplah dengan pesta yang dibenarkan syari’at yang tidak banyak membebani kedua mempelai.

Semoga Allah memerbaiki kondisi kaum muslimin semuanya dan memberi taufiq kepada mereka untuk tetap berpegang teguh kepada Sunnah di dalam segala hal.

[Kitabud Da’wah, Al-Fatawa hal 166-168 dari Fatwa Syaikh Ibnu Baz]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan redaksi " Sebaik-baik nikah adalah yang paling mudah". Dan oleh Imam Muslim dengan lafazh yang serupa dan di shahihkan oleh Imam Hakim dengan lafaz tersebut diatas.



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1467&bagian=0

HUKUM NASYID ATAU LAGU-LAGU YANG BERNAFASKAN ISLAM

Oleh Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta.

Pertanyaan
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Sesungguhnya kami mengetahui tentang haramnya nyanyian atau lagu dalam bentuknya yang ada pada saat ini karena di dalamnya terkandung perkataan-perkataan yang tercela atau perkataan-perkataan lain yang sama sekali tidak mengandung manfaat yang diharapkan, sedangkan kami adalah pemuda muslim yang hatinya diterangi oleh Allah dengan cahaya kebenaran sehingga kami harus mengganti kebiasaan itu. Maka kami memilih untuk mendengarkan lagu-lagu bernafaskan Islam yang di dalamnya terkandung semangat yang menggelora, simpati dan lain sebagainya yang dapat menambah semangat dan rasa simpati kami. Nasyid atau lagu-lagu bernafaskan Islam adalah rangkaian bait-bait syair yang disenandungkan oleh para pendakwah Islam (semoga Allah memberi kekuatan kepada mereka) yang diekspresikan dalam bentuk nada seperti syair 'Saudaraku' karya Sayyid Quthub -rahimahullah-. Apa hukum lagu-lagu bernafaskan Islam yang di dalamnya murni terkandung perkataan yang membangkitkan semangat dan rasa simpati, yang diucapkan oleh para pendakwah pada masa sekarang atau pada pada masa-masa lampau, di mana lagu-lagu tersebut menggambarkan tentang Islam dan mengajak para pendengarnya kepada keislaman.

Apakah boleh mendengarkan nasyid atau lagu-lagu bernafaskan Islam tersebut jika lagu itu diiringi dengan suara rebana (gendang)? Sepanjang pengetahuan saya yang terbatas ini, saya mendengar bahwa Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam-membolehkan kaum muslimin untuk memukul genderang pada malam pesta pernikahan sedangkan genderang merupakan alat musik yang tidak ada bedanya dengan alat musik lain? Mohon penjelasannya dan semoga Allah memberi petunjuk.

Jawaban
Lembaga Fatwa menjelaskan sebagai berikut: Anda benar mengatakan bahwa lagu-lagu yang bentuknya seperti sekarang ini hukumnya adalah haram karena berisi kata-kata yang tercela dan tidak ada kebaikan di dalamnya, bahkan cenderung mengagungkan nafsu dan daya tarik seksual, yang mengundang pendengarnya untuk berbuat tidak baik. Semoga Allah menunjukkan kita kepada jalan yang diridlaiNya. Anda boleh mengganti kebiasaan anda mendengarkan lagu-lagu semacam itu dengan nasyid atau lagu-lagu yang bernafaskan Islam karena di dalamnya terdapat hikmah, peringatan dan teladan (ibrah) yang mengobarkan semangat serta ghirah dalam beragama, membangkitkan rasa simpati, penjauhan diri dari segala macam bentuk keburukan. Seruannya dapat membangkitkan jiwa sang pelantun maupun pendengarnya agar berlaku taat kepada Allah -Subhanahu Wa Ta'ala-, merubah kemaksiatan dan pelanggaran terhadap ketentuanNya menjadi perlindungan dengan syari’at serta berjihad di jalanNya.

Tetapi tidak boleh menjadikan nasyid itu sebagai suatu yang wajib untuk dirinya dan sebagai kebiasaan, cukup dilakukan pada saat-saat tertentu ketika hal itu dibutuhkan seperti pada saat pesta pernikahan, selamatan sebelum melakukan perjalanan di jalan Allah (berjihad), atau acara-acara seperti itu. Nasyid ini boleh juga dilantunkan guna membangkitkan semangat untuk melakukan perbuatan yang baik ketika jiwa sedang tidak bergairah dan hilang semangat. Juga pada saat jiwa terdorong untuk berbuat buruk, maka nasyid atau lagu-lagu Islami tersebut boleh dilantunkan untuk mencegah dan menghindar dari keburukan.

Namun lebih baik seseorang menghindari hal-hal yang membawanya kepada keburukan dengan membaca Al-Qur'an, mengingat Allah dan mengamalkan hadits-hadits Nabi, karena sesungguhnya hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi jiwa serta lebih menguatkan dan menenangkan hati, sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya." [Az-Zumar: 23]

Dalam ayat lain Allah berfirman.

"Artinya : Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik." [Ar-Ra'd: 28-29]

Sudah menjadi kebiasaan para sahabat untuk menjadikah Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai penolong mereka dengan cara menghafal, mempelajari serta mengamalkannya. Selain itu mereka juga memiliki nasyid-nasyid dan nyanyian yang mereka lantunkan seperti saat mereka menggali parit Khandaq, membangun masjid-masjid dan saat mereka menuju medan pertempuran (jihad) atau pada kesempatan lain di mana lagu itu dibutuhkan tanpa menjadikannya sebagai syiar atau semboyan, tetapi hanya dijadikan sebagai pendorong dan pengobar semangat juang mereka.

Sedangkan genderang dan alat-alat musik lainnya tidak boleh dipergunakan untuk mengiringi nasyid-nasyid tersebut karena Nabi -Shollallaahu'alaihi wa sallam- dan para sahabatnya tidak melakukan hal itu. Semoga Allah menunjukkan kita kepada jalan yang lurus. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.

[Fatawa Islamiyah, al-Lajnah ad-Da'imah, 4/532-534]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1714&bagian=0

APAKAH HUKUMNYA TELEVISI HARAM ATAU MAKRUH ATAU BOLEH

Oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Segala puji hanya bagi Allah, rahmat dan kesejahteraan semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan sahabatnya. Wa ba’du : Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta telah meneliti pertanyaan yang diajukan dari Hifzhi bin Ali Zaini kepada pimpinan umum dan dipindahkan kepadanya dari sekretaris umum no. 1006 dan tanggal 19/12/1398H

Dan isinya adalah : Istri saya meminta dibelikan televisi dan saya tidak menyukainya. Saya berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian kepada kalian penjelasan tentang televisi. Apakah hukumnya haram atau makruh atau boleh. Di mana saya tidak menyukai membeli keperluan yang haram ?

Jawaban
Pesawat televisi itu sendiri tidak bisa dikatakan haram, dan tidak pula makruh dan tidak pula boleh. Karena ia adalah benda yang tidak berbuat apapun. Sesungguhnya hukumnya sangat tergantung dengan perbuatan hamba, bukan dengan dzat sesuatu. Maka membuat televisi dan menjadikannya (sebagai alat) untuk menyebarkan hadits atau program sosial yang baik, hukumnya boleh. Jika yang ditampilkan adalah gambar-gambar yang menggiurkan lagi membangkitkan syahwat, seperti gambar-gambar wanita telanjang, gambar laki-laki yang menyerupai perempuan dan yang sama pengertian dengan hal tersebut. Atau yang didengar adalah yang diharamkan, seperti lagu-lagu cabul, kata-kata yang tidak bermoral, suara para artis kendati dengan lagu-lagu yang tidak cabul. Nanyian laki-laki yang melembutkan suara dalam nyanyian mereka, atau menyerupai wanita padanya, maka ia diharamkan.

Dan inilah kebiasaan dalam penggunaan televisi di masa sekarang, karena kuatnya kecenderungan manusia kepada hiburan dan kekuasaan hawa nafsu atas jiwa kecuali orang yang dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sangat sedikit sekali.

Sebagai kesimpulan : Duduk di depan tetevisi atau mendengarkannya atau melihat acaranya, selalu mengikuti dalam penentuan hukum halal dan haram dari apa yang dilihat atau yang didengar. Terkadang sesuatu yang diperbolehkan untuk didengar dan untuk duduk di depannya menjadi dilarang karena faktor menyia-nyiakan waktu senggang dan berlebihan padanya, yang kadang kala manusia sangat membutuhkan kesibukan yang bermanfaat untuk dirinya, keluarganya dan umatnya dengan manfaat yang merata dan kebaikan yang banyak. Wajib bagi setiap muslim menurut agama, untuk tidak membelinya, mendengarkannya dan melihat yang ditayangkan di dalamnya ; karena merupakan sarana kepada mendengarkan dan melihat yang diharamkan.

Semoga rahmat dan kesejahteraan Allah tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

[Fatwa ini diucapkan dan didiktekan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1616&bagian=0

Jumat, 04 Juni 2010

GAYAMU, IDENTITASMU

Semenjak aku aktif di sebuah Lembaga Dakwah Kampus pada sebuah universitas negeri terbesar di Indonesia timur, tidak sedikit dari topik pembiaraan orang di sekitarku mulai berubah. Penampilanku seakan menjadi “menu” dalam setiap pembicaraan, seolah hambar rasanya jika mereka tidak saling mengabarkan akan perubahan yang terjadi padaku. Mulai dari celana yang tidak isbal, jenggot tipis yang tumbuh di daguku siap untuk menjadi sorotan mereka.

Awalnya aku merasa berat menghadapi itu semua, tidak ketinggalan juga rasa takut selalu menghantuiku. Hujjah yang aku miliki belum begitu banyak untuk membendung setiap cobaan yang datang, apalagi mereka tidak kenal lelah mengajukan pertanyaan yang bertujuan ingin membuat aku kembali bersama mereka. Namun karena pertolongan Allah Subuhanahu Wata’ala dengan hidayah berupa keyakinan yang kuat serta karunia berupa sahabat-sahabat seperjuangan yang terus menyemangatiku, perasaan khauf (takut) yang tidak pada tempatnya itu berubah menjadi pelajaran beharga bagi hidupku. Sebuah pelajaran yang aku jadikan modal dalam berdakwah.

Aku menyadari, manusia pada umumnya selalu tertarik dengan sesuatu yang unik atau terkesan baru. Sekalipun mereka tidak langsung menaruh simpati namun dapat mengalihkan perhatian mereka merupakan modal awal untuk langkah selanjutnya. Begitu pula dengan dakwah, ketika kita mampu mengalihkan perhatian mereka dengan “gaya” syar’i kita yang terbilang asing oleh mereka, secara tidak langsung sebenarnya kita telah mendakwahi mereka. Sisi ini tentu membutuhkan pengertian yang dalam oleh kita selaku pelaku dakwah. Sebab sadar atau tidak kita bermain dalam area perasaan, area sensitiv yang mengharuskan kita untuk saling menguatkan dan menolong satu sama lain.

Sebagai muslim, tentunya kita wajib menunjukkan identitas kita dengan sungguh-sungguh. Sudah seharusnya kita menampilkan dengan berani apa yang diperintahkan oleh Allah Subuhanahu Wata’ala dan sunnah dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Bukankah Allah Subuhanahu Wata’ala memerintahkan kita untuk memeluk agama Islam ini dengan kaffah (menyeluruh), lalu mengapa kita masih malu untuk menunjukkan identitas kita sebagai seorang muslim?

Derasnya arus informasi budaya sekular yang menyapa umat Islam khususnya remaja, membuat sebagian umat muslim berusaha untuk tampil lebih maksimal dalam menikmati hidup dengan bersenang-senang. Tidak heran jika gaya hidup yang berorientasi pada fun (hiburan/kesenangan), dan fashion (pakaian/penampilan) menjadi pilihan yang kian banyak digandrungi, kondisi ini melekat sekali dalam budaya umat Islam saat ini. Timbullah sebuah pertanyaan yang sudah sering kita dengarkan “Mengapa sih mereka merasa senang dan bangga masuk dalam komunitas seperti itu, komunitas anak gaul? Ya, karena pencitraan terhadap anak gaul dengan gaya yang mereka perlihatkan saat ini adalah komunitas yang mengerti dan bisa mengikuti perkembangan jaman, dan satu hal yang menjadi kebanggaan mereka, yakni berani untuk menunjukkan gaya dan identitas mereka. Kenyataan ini tentu menjadi tugas kita untuk membuat mereka sadar dengan kekeliruan mereka, dan mulailah dengan mengalihkan perhatian tunjukkan gaya dan identitas kita.

Maka perlu untuk kita pahami, bahwasanya setiap orang ingin punya citra diri agar bisa diterima di level sosial tertentu. Sebab citra merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat modern. Citra sudah menjadi menu harian bagi masyarakat yang kenal peradaban. Dan kita sebagai Muslim harus bisa menjadi diri kita sendiri, untuk menunjukkan jika Islam memiliki citra dan peradaban yang sangat mulia. Peradaban Islam dengan cakupan segala aspek yang ada didalamnya termasuk dalam segi model, gaya dan identitas telah diatur sacara terstruktur dan terarah dalam agama.

Olehnya itu, menumbuhkan kesadaran dalam diri kita untuk mau berislam dengan tidak setengah-setengah dan berislam secara totalitas serta menyeluruh adalah sebuah keharusan. Jangan mau terjebak dan di jajah dengan “gaya” hidup yang ditampilkan dan dipertontonkan oleh orang kafir yang notabene ingin merongrong dan menghancurkan sendi-sendi agama yang mulia ini. Gaya mereka adalah identitas mereka, dan jika kita mengikuti mereka maka kita telah menjadikan diri kita berkiblat dan menjadikan mereka pemimpin dalam identitas kita. Allah Subuhanahu Wata’ala berfirman,

* $pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#rä‹Ï‚­Gs? yŠqåkuŽø9$# #“t�»|Á¨Z9$#ur uä!$u‹Ï9÷rr& ¢ öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 `tBur Nçl°;uqtGtƒ öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù öNåk÷]ÏB 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw “ωôgtƒ tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÊÈ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.(QS. Al- Maidah: 51)

Dan tanamkan dalam diri kita untuk selalu berhati-hati jangan sampai kita masuk dalam perangkap orang-orang kafir, sebab Rasulullah Shalallahu Alaihi Washallam telah menggambarkan realita yang terjadi dewasa ini dengan sabdanya, “Kamu telah mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka. Kami bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani? Baginda bersabda: Kalau bukan mereka, siapa lagi?”. (HR. Muslim)

Jadi, identitas islami yang hakiki adalah pikiran dan perasaan kita senantiasa dibalut dengan ajaran Islam. Insya Allah itu akan menyelamatkan kita, dan tentu saja itulah identitas Islam kita yang sebenarnya. Kemudian yang penting, mulai sekarang mari kita sama-sama belajar mencontoh kehidupan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, maupun para sahabat yang sederhana dalam penampilan namun berlimpah dalam kebaikan serta memberikan manfaat bagi semua orang. Itu baru cool, calm, en confident as a moslem!. Iyshadu bi anna Muslim!!

Oleh : Ihwan Ibnu Mai as Siompuni

Makassar