Rabu, 09 Juni 2010

SIFAT-SIFAT YANG HARUS DIMILIKI SEORANG DA’I

Menjadi seorang da’i atau penyampai kebenaran adalah kewajiban bagi manusia. Berdakwah Illallah, merupakan perkara agung dan memiliki derajat yang tinggi, sebab para da’i merupakan orang-orang yang menggantikan nabi dan rasul dalam menyampaikan ilmu secara benar, mengamalkannya, dan menda’wahkannya.
Maka, patutulah seorang da’i mengurusi kegiatan mulia ini dengan segenap kemampuan serta usaha yang profesional. Beberapa sifat yang harus dimiliki orang seoraang da’i adalah sebagai berikut.
a. Ikhlas
Seorang da’i dalam menjalankan da’wahnya tidak boleh bertujuan untuk mendapatkan pujian, harta, pangkat dan dunia. Seorang da’i harus menjadikan da’wah semata untuk mencari ridha Allah. Sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surah Yusuf.
Hal ini perlu diperhatikan dan harus dimulai dari perkara niat, sebagaimana hadist Rasulullah dari Umar bin Khattab,
"Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari)
Niat merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kadar amal seseorang dihadapan Allah, sebab niat seseorang akan mempengaruhi nilai amalannya. Sehingga jika ia meniatkan untuk suatu hal maka yang akan didapatinya hanyalah seperti hal itu.
b. Ilmu
Sejauh mana da’wah bisa dirasakan oleh seorang mad’u, tergantung pada ilmu yang dimiliki, cara penyampainya serta dalamnya ilmu yang dimilikinya.
Ilmu sangat penting
“Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin 'Ufair Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab dari Yunus dari Ibnu Syihab berkata, Humaid bin Abdurrahman berkata; aku mendengar Mu'awiyyah memberi khutbah untuk kami, dia berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah faqihkan dia terhadap agama. Aku hanyalah yang membagi-bagikan sedang Allah yang memberi. Dan senantiasa ummat ini akan tegak diatas perintah Allah, mereka tidak akan celaka karena adanya orang-orang yang menyelisihi mereka hingga datang keputusan Allah".(HR. Bukhari)
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan atau mewariskan dirham, tapi mewariskan ilmu, dan inilah sebaik-baik warisan.
c. Akhlak yang baik (Khusnul khuluk)
Ciri dari akhlak yang baik yang dimiliki oleh seorang da’i adalah
1. Semua hal yang bermanfaat bagi manusia ia berikan.
2. Menahan diri untuk tidak menyakiti manusia, sekecil apapun atau sebesar apapun, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
3. Bersabar dari apa yang ia temui. Jika ia mendapatkan atau menemui kebaikan maka ia bersabar, dan jika ia menemui keburukan maka ia bersabar pula.
4. Jika ada yang menyakitinya, ia mampu menahan diri dan bisa menampung perilaku-perilaku tersebut. Ia paham sebagai seorang da’i ia harus mampu dan siap menanggung derita. Rasulullah besabda
5. "Penghuni surga itu ada tiga; pemilik kekuasaan yang sederhana, derma dan penolong, seorang yang berbelas kasih, berhati lunak kepada setiap kerabat dan orang muslim yang sangat menjaga diri dan memiliki tanggungan."
"Penghuni surga itu ada tiga; pemilik kekuasaan yang sederhana, derma dan penolong, seorang yang berbelas kasih, berhati lunak kepada setiap kerabat dan orang muslim yang sangat menjaga diri dan memiliki tanggungan." (HR. Bukhari).
Para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah tentang amalan apa yang banyak memasukkan orang disurga. Rasulullah menjawab: “Akhlak yang baik”.
Orang yang baik akhlaknya adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah. Orang yang paling dekat dengan Rasulullah pada hari akhir nanti juga adalah orang yang paling baik akhlaknya.
Hendaknya para da’i memperhatikan dengan benar masaalah akhlak ini, sebab akhlak yang baik merupakan posisi yang menentukan diterimanya dakwah kita oleh orang lain.
Betapa banyak ahlul bid’ah yang mengajak kepada kebatilan, namun karena akhlak yang ia tunjukkan pada orang-orang baik, lembut, simpati sehingga membuat da’wahnya diterima. Begitu pula sebaliknya, betapa banyak para da’i syar’i yang menyebarkan kebaikan, namun karena ia tidak peka, tidak lembut, dan tidak santun, membuat da’wahnya sulit diterima oleh masyarakat.
Lihatlah bagaimana Rasulullah bersikap sebagai seorang da’i, hampir sebagian besar para sahabat yang masuk Islam di awal-awal kenabian beliau adalah akibat ketinggian dan keagungan akhlak Beliau.
d. Bersabar
Sabar merupakan amalan mulia. Seorang da’i harus mampu mengaplikasikan sabar dalam hidupnya.
1. Seorang da’I, harus bersabar ketika manusia berpaling dan tidak mengikuti dakwahnya atau berpaling darinya. Jika hal ini terjadi maka kita harus berpikiran positif, tidak boleh patah semangat dan berdo’a kepada Allah.
Berda’wah tidaklah sesederhana membalik telapat tangan, kadang ada orang yang langsung memahami dan menerima da’wah kita, ada juga yang butuh waktu lama untuk dapat memahami dan menerima da’wah kita, bahkan mungkin ada yang meninggalkan atau menyakiti kita. Hal ini membutuhkan kesabaran yang besar. Lihatlah contoh-contoh dari para nabi dan Rasul ketika berdakwah. Nabi Nuh as, Nabi Musa as dan Nabi Muhammad SAW.
2. Mesti bersabar maninggalkan hal-hal yang mubah. Seperti bersenang-senang dengan keluarga dan bercanda dengan sahabat-sahabatnya, dan lain-lain.
3. Bersabar dari kurangnya harta. Seorang da’i harus bersabar ketika ia tau bahwa dengan menjadi da’i harta berupa duniawi akan sedikit ia miliki, sebab ia paham bahwa kekayaan yang akan ia raih adalah kekayaan ruhaniyah.
4. Bersabar dalam kelalaian dunia. Seorang da’i tentu memiliki waktu yang kurang dengan dunia, da ini kadang membuatnya lalai dari dunia.
e. Hikmah
Hikmah adalah menempatkan atau meletakkan sesuatu pada tempatnya, atau menekuni amalan yang dilakukannya secara professional.
Seorang da’i harus bersikap lemah lembut dan memperhatikan maslahat dalam da’wahnya serta mndahulukan yang penting.

Diposkan Oleh: Ihwan as Siompuni
Disimak dan dicatat dari materi Daurah sehari Syaikh ‘Abdullah Bin Hamid Az-Zaidany (Murid Syaikh Muhammad Solih Al-Hutsaimin), Masjid Wihdatul Ummah, DPC Wahdah Islamiah Makassar, Makassar, 23 Mei 2010 M.

“Cukuplah kematian sebagai peringatan”.

Sebagai utusan Allah subuhanahu wata’ala, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tentu mengetahui hal-hal apa yang paling penting untuk diketahui oleh ummatnya. Dan peringatan-peringatan yang Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berikan merupakan sebuah bentuk cerminan kecintaan Beliau terhadap ummatnya.
Salah satu peringatan yang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sampaikan adalah peringatan tentang kematian. Ya, kematian, yang mana kebanyakan orang lalai akan hal ini.
Rasulullah bersabda “Cukuplah kematian sebagai peringatan”.
Peringatan yang harus diketahui, peringatan yang penting untuk dingat. Sebab kematian bukanlah permainan, kematian bukanlah sandiwara. Kematian akan datang kepada siapa saja yang bernyawa tidak memandang usia, jabatan, status dan lain-lain. Kematian akan datang menjemput, mulai dari presiden hingga tukang becak, mulai dari orang yang paling pintar sampai pada orang yang paling bodoh, mulai dari orang yang paling baik hingga orang yang paling bejat sekalipun sekalipun.
“Cukuplah kematian sebagai peringatan”.
Ya, peringatan ini peringatan untuk kita. Ketika kita melihat orang meninggal dan mendengar kabar kematian, mengapa hati kita masih begitu keras untuk memahami dan meyakini jika kita juga “makhluk bernyawa” pasti akan mengalami hal yang sama, pasti akan mati. Sering kita mengatakan diri kita adalah pribadi yang unggul, pribadi yang mudah tersinggung jika seandainya ada orang yang mengatakan kita sabagai orang yang bodoh, namun mengapa peringatan semacam ini kita tidak bias mengambil pelajaran didalamnnya.
“Cukuplah kematian sebagai peringatan”.
Ingatlah, apa yang sudah engaku persiapkan untuk menghadapi kematian, sudahkah ada bekal yang baik dan cukup, ataukan dunia telah membuatmu lalai dan lupa akan kepastian ini. Sungguh, pahamilah api neraka itu, tingkat paling atas hingga paling bawah, tdaklah sanggup engkau hadapi. Naudzubillah.
“Cukuplah kematian sebagai peringatan”.
Ya, orang yang beramal saja belum tentu amalannya diterima, orang sholat saja belum tentu diterima. Olehnya itu, ingatlah kematian!, ingatlah kematian! Hingga engkau akan menyerahkan ibadahmu, amalanmu hanya kepada amal semata. Jadikanlah kesempatan hidup ini untuk senantiasa mengingat kematian.
“Cukuplah kematian sebagai peringatan”.
Ya, ingatlah hidup ini hanya sementara. Akhiratlah yang kekal, jangan engkau akhiri hidup ini dengan keburukan, akhirilah dengan kebaikan. Beribadah di jalan Allah.
Wallahu Ta’ala A’lam

Ihwan Ibnu Mai as Siompuni

YANG DIANGGAP MAHROM PADAHAL BUKAN DAN HAL-HAL YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN.

Oleh
Ahmad Sabiq bin Abdul Latif

Pada kesempatan kali ini, kita simak pembahasan tentang beberapa kekeliruan sebagian kalangan dalam memahami mahrom. Dilanjutkan tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan mahrom. Semoga bermanfaat.

DIANGAP MAHROM PADAHAL BUKAN

Disebabkan keogahan dalam mendalami ilmu agama Islam, maka banyak kita jumpai adanya beberapa anggapan keliru dalam mahrom. Otomatis berakibat fatal, orang-orang yang sebenarnya bukan mahrom dianggap sebagai mahromnya. Sangat ironis memang, tapi demikianlah kenyataannya. Oleh karena itu dibutuhkan pembenahan secepatnya.

Berikut ini beberapa orang yang dianggap mahrom tersebut:

[1]. Ayah Dan Anak Angkat.
Hal ini berdasarkan firman Allah :
"Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu." [Al-Ahzab: 4]

[2]. Sepupu (Anak Paman/Bibi).
Hal ini berdasarkan firman Allah setelah menyebutkan macam-macam orang yang haram dinikahi:

"Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian. [An-Nisa': 24]

Menjelaskan ayat tersebut, Syaikh Abdur Rohman Nasir As-Sa'di berkata:

" Hal itu seperti anak paman/bibi (dari ayah) dan anak paman/bibi (dari ibu)". [Lihat Taisir Karimir Rohman hal 138-139]

[3]. Saudara Ipar.
Hal ini berdasarkan hadits berikut:
"Waspadailah oleh kalian dari masuk kepada para wanita, berkatalah seseorang dari Anshor: "Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu kalau dia adalah Al-Hamwu (kerabat suami)? Rasulullah bersabda; "Al-Hamwu adalah merupakan kematian". [HR Bukhori; 5232 dan Muslim 2172]

Imam Baghowi berkata; " Yang dimaksud dalam hadits ini adalah saudara suami (ipar) karena dia tidak termasuk mahrom bagi si istri. Dan seandainya yang dimaksud adalah mertua padahal ia termasuk mahrom, lantas bagaimanakah pendapatmu terhadap orang yang bukan mahrom?" Lanjutnya: "Maksudnya, waspadalah terhadap saudara ipar sebagaimana engkau waspada dari kematian".

[4]. Mahrom Titipan.
Kebiasaan yang sering terjadi, apabila ada seorang wanita ingin bepergian jauh seperti berangkat haji, dia mengangkat seorang lelaki yang 'berlakon' sebagai mahrom sementaranya. Ini merupakan musibah yang sangat besar. Bahkan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani menilai dalam Hajjatun Nabi (hal 108) ; "Ini termasuk bid'ah yang sangat keji, sebab tidak samar lagi padanya terdapat hiyal (penipuan) terhadap syari'at. Dan merupakan tangga kemaksiatan".

WANITA DENGAN MAHROMNYA

Setelah memahami macam-macam mahrom, perlu diketahui pula beberapa hal yang berkenaan tentang hukum wanita dengan mahromnya adalah:

[1]. Tidak Boleh Menikah
Allah berfirman :
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);,dan menghimpunkan (dalam perkawinan)dua perempuan yang bersaudara,kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, [An-Nisa' :22-23]

[2]. Boleh Menjadi Wali Pernikahan
Wali adalah syarat saya sebuah pernikahan, sebagaiman diriwayatkan oleh 'Aisyah radliyallahu 'anha bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

"Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil (tidak sah), maka nikahnya batil, maka nikahnya batil." [HSR Abu Daud 2083, lihat Irwaul Golil 6/243]

Juga riwayat dari Abi Musa Al Asy'ari berkata Rasulullah shallallahu 'alaih wassallam bersabda :

"Tidak sah nikah kecuali ada wali. [HSR Abu Daud 2085,lihat Irwaul Gholil 6/235]

Berkata Imam At-Tirmidzi: "Yang diamalkan oleh para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wassallam dalam masalah wali pernikahan adalah hadits ini, diantaranya adalah Umar bin Khothob, Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan juga selain mereka." [Lihat Sunan Tirmidzi 3/410 Tahqiq Muhammad Fu'ad Abul Baqi]

Namun tidak semua mahrom berhak menjadi wali pernikahan begitu juga sebaliknya tidak semua wali itu harus dari mahromnya. Contoh wali yang bukan dari mahrom seperti anak laki-laki paman (saudara sepupu laki-laki), orang yang telah memerdekakannya, sulthon. Adapun Mahrom yang tidak bisa menjadi wali seperti karena sebab mushoharoh.

[3]. Tidak Boleh Safar (Bepergian Jauh) Kecuali Dengan Mahromnya
Banyak sekali hadits yang melarang wanita mengadakan safar kecuali dengan mahromnya, diantaranya:

Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu 'anhu berkata: Berkata Rasulullahu shallallahu 'alahi wassallam: "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan safar lebih dari tiga hari kecuali bersama ayah, anak laki-laki, suami, saudara laki-laki atau mahrom lainnya." [HR Muslim 1340]

Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu 'anhuma dari Rasulullahu Shallallahu 'alaihi wassallam berkata: " Janganlah seorang wanita muslimah bepergian selama dua hari kecuali bersama suaminya atau mahromnya." [HR Ibnu Khuzaimah: 2522]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bersabsa Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassallam : "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan safar sehari semalam tidak bersama mahromnya." [HR Bukhori: 1088, Muslim 1339]

Dari beberapa hadits ini, kita ketahui bahwa terlarang bagi wanita muslimah untuk mengadakan safar kecuali bersama mahromnya, baik safar itu lama ataupun sebentar. Adapun batasan beberapa hari yang terdapat dalam hadits di atas tidak dapat di fahami sebagai batas minimal.

Berkata Syaikh Salim Al Hilali: "Para Ulama' berpendapat bahwa batasan hari dalam beberapa hadits di atas tidak dimaksudkna untuk batasan minimal. Dikarenakan ada riwayat yang secar umum melarang wanita safar kecuali bersama mahromnya, baik lama maupun sebentar, seperti riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma beliau berkata: Saya mendengar Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

"Jangan seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahromnya, juga jangan safar dengan wanita kecuali bersama mahromnya, maka ada seorang lelaki berdiri lalu berkata :

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri saya pergi haji padahal saya ikut dalam sebuah peperangan. Maka Rasulullah menjawab: "Berangkatlah untuk berhaji dengan istrimu."[HR Bukhori: 3006,523, Muslim 1341, Lihat Mausu'ah Al Manahi Asy Syari'ah 2/102]

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah: "Kebanyakan ulama' memberlakukan larangn ini untuk semua safar karena pembatasn yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut sangat berbeda-beda." [Lihat Fathul Bari 4/75]

Syaikh sholeh Al Fauzan Hafidzuhullah ditanya tentang hukum wanita safar dengan naik pesawat domestik dalam negeri tanpa mahrom, apakah itu diperbolehkan? Jawab beliau: "Tidak boleh bagi seorang wanita mengadakan safar tanpa mahrom, baik naik pewasat atau mobil, karena Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassalam bersabda: "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengadakan safar sehari semalam kecuali bersama mahrom." Maka safar wanita tanpa mahrom itu tidak boleh meskipun dengan alat transportasi yang cepat, karena pesawat atau mobil itu mungkin saja bisa terlambar, rusak, atau terjadi hal-hal lain yang mengharuskan wanita itu harus bersama mahromnya agar bisa menjaganya saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan." [Al Muntaqo min Fatwa Syaikh Sholeh Al Fauzan 5/387]

[4]. Tidak Boleh Kholwat (Berdua-Duaan) Kecuali Bersama Mahromnya

[5]. Tidak Boleh Menampakkan Perhiasannya Kecuali Kepada Mahromnya

[6]. Tidak Boleh Berjabat Tangan Kecuali Dengan Mahromnya

Jabat tangan dengan wanita di zaman ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah, padahal Rasullah shallallahu 'alaihi wassallam sangat mengancam keras pelakunya: Dari Ma'qil bin Yasar radhyallahu 'anhu :

Bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam: "Seandainya kepala seseorang di tusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (Hadits hasan riwayat Thobroni dalam Al-Mu'jam Kabir 20/174/386 dan Rauyani dalam Musnad: 1283 lihat Ash Shohihah 1/447/226)

Berkata Syaikh Al Albani rahimahullah: "Dalam hadits ini terdapat ancaman keras terhadap orang-orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya, termasuk malsaha berjabat tangan, karena jabat tangan itu termasuk menyentuh." [Ash Shohihah 1/448]

Dan Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassalam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita, meskipun dalam keadaan-keadaan penting seperti membai'at dan lain-lain.

Dari Umaimah bintih Ruqoiqoh radhiyallahu 'anha: Bersabda Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassallam: "Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita." [HR Malik 2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, dll]

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha: "Demi Allah, tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun dalam keadaan membai'at. Beliau tidak memba'iat mereka kecuali dengan mangatakan: "Saya ba'iat kalian." [HR Bukhori: 4891]

Keharaman berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahromnya ini berlaku umum, baik wanita masih muda ataupun sudah tua, cantik ataukah jelek, juga baik jabat tangan tersebut langsung bersentuhan kulit ataukah dilapisi dengan kain.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang hal tersebut, maka beliau menjawab: Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahromnya secara mutlak, baik wanita tersebut masih muda ataukah sudah tua renta, baik lelaki yang berjabat tangan tesebut masih muda ataukah sudah tua, karena berjabat tangan ini bisa menimbulkan fitnah. Juga tidak dibedakan apakah jabat tangan ini ada pembatasnya atau tidak, hal ini dikarenakan keumuman dalil (larangan jabat tangan), juga untuk mencegah timbulnya fitnah". [Fatawa Islamiyah 3/76 disusun Muahmmad bin Abdul Aziz Al Musnid]


[Disalin dengan sedikit diringkas dari: Majalah "Al Furqon", Edisi 4 Th. II, Dzulqo'idah 1423, hal 29-31]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=82&bagian=0